JAKARTA: An Indonesian banker sentenced to eight years in jail over a 136 million dollars graft case has been handed over to Jakarta by the United States, police said today.
Indonesian authorities had been looking for David Nusa Wijaya, a former director of a small bank that took a government bailout during the 1997 Asian financial crisis, since a court sentenced him in 2003.
Indonesia police chief General Sutanto told reporters Wijaya fled Indonesia in 2004 to live in Singapore but recently faced immigration problems in San Francisco.
Misuse of emergency funds involving the bank, PT Bank Umum Servitia, cost Indonesia 136 million dollars in losses, officials said.
''The first option was for him to go through a legal process in the U S while the second was voluntarily serving time in Indonesia.
He chose the latter,'' Sutanto said, adding Indonesian police had worked with Interpol and American investigators.
Penangkapan David Nusa Widjaya
Sekali-sekali bolehlah kita memberi salut kepada polisi yang berhasil meringkus David Nusa Widjaya, koruptor yang buron ke luar negeri. Inilah untuk pertama kalinya seorang buron kakap, terpidana kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara lebih dari Rp 1,2 triliun, ditangkap. Diharapkan sejumlah nama pengemplang kredit Bank Indonesia yang sudah divonis bersalah tapi menjadi buron bisa segera ditangkap, setidak-tidaknya diketahui tempat persembunyiannya.
David divonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat satu tahun penjara pada 2001. Setelah dia sempat ditahan Kejaksaan Agung selama sebulan, hakim menangguhkan penahanannya. Pada Mei 2002, David diketahui lenyap dari Jakarta. Dia dinyatakan buron sebulan kemudian. Tim Pemburu Koruptor pimpinan Basrief Arief yang dibentuk pada Februari 2005, dibantu Biro Penyelidik Federal AS, harus melacaknya selama berbulan-bulan sebelum mencium jejak David di Amerika Serikat.
Gebrakan Tim Pemburu Koruptor ini seakan melempar sinyal kepada mereka yang masih jadi buron: ketimbang terus berlari-lari dengan rasa cemas di luar negeri, lebih baik menyerahkan diri. Seperti yang dikatakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, daripada hidup di luar negeri tidak tenang dan banyak masalah hukum, pulanglah dan menyerahlah. Tim Pemburu Koruptor juga sudah mencanangkan akan menangkap 13 koruptor kakap yang diketahui sekarang berada di luar negeri.
Usaha Tim Pemburu Koruptor perlu didukung dengan usaha diplomatik untuk memperluas kerja sama dengan negara yang diduga menjadi tempat bersembunyi para buron itu. Perjanjian ekstradisi dengan Singapura, misalnya, perlu dipercepat realisasinya. Selama ini sudah ada beberapa kali pembicaraan dengan pihak Singapura. Akan sangat membantu apabila perjanjian ekstradisi itu bisa segera dirampungkan. Dengan pemerintah yang lebih serius memberantas korupsi, tentu pihak Singapura lebih "bersemangat" menyelesaikan perjanjian ekstradisi itu.
Bantuan juga akan datang dari berbagai negara jika pemerintah Indonesia tetap konsisten dengan usaha pemberantasan korupsi ini. Selain dari pemerintah Amerika Serikat, bantuan yang sama diharapkan datang dari negara yang ditengarai menjadi "rumah" yang nyaman bagi para koruptor.
Yang tak kalah penting adalah membenahi aparat penegak hukum, terutama mereka yang punya kuasa menahan atau membebaskan para buron ini. Kita tentu belum lupa bagaimana Eddy Tansil diloloskan oleh para penjaga penjara dan lari entah ke mana sampai hari ini. Ada beberapa nama yang juga diloloskan dengan berbagai cara. Para penjaga serta pejabat yang bertanggung jawab semestinya juga diusut dan diperkarakan.
Akan sangat konyol bila Tim Pemburu Koruptor melanglang buana menangkapi mereka yang bersalah, tapi di sisi lain ada aparat yang makan suap dan diam-diam memberikan jalan agar mereka yang bersalah lari ke luar negeri. Mereka yang meloloskan itu juga harus dihukum berat.
Diterbitkan di Koran Tempo, 19 Januari 2006
Friday, January 20, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment